Live Love Laugh

Live Love Laugh

Monday, December 6, 2010

Harapan dan Impian

Setiap manusia sepatutnya punya impiannya masing-masing. Ya, kalopun bukan disebut impian, sebut saja keinginan. Impian dan keinginan bisa dan pasti berbeda-beda. Skala berbeda, dalam hal yang berbeda, juga dengan tingkat realisasi yang berbeda pula. Ada keinginan jangka pendek, ada impian jangka panjang.

Manusia seperti kita, diberikan hasrat, pikiran, dan kemampuan untuk memikirkan impian apa yang kita inginkan, sebesar apa keinginan kita untuk meraih impian tersebut, dan bagaimana cara terbaik ‘versi kita’ untuk mencapai hal-hal itu.

Hmm..

Saat kita dihadapkan dengan pilihan, atau mungkin ‘daftar atau list’ hal-hal apa saja yang kita inginkan, kita akan menggunakan pikiran untuk ‘memilih’ hal mana saja yang akan kita capai. Pikiran ini bisa dikuasai oleh akal, atau oleh nafsu. Dan pikiran terbaik setidaknya mengombinasikan antara keduanya dalam proporsi yang tepat, ya, akal dan nafsu. Mengapa demikian?

Ketika kita menetapkan suatu impian ‘hanya’ berdasarkan nafsu, sudah tentu semuanya akan menjadi sangat sulit ketika akan direalisasikan. Ya, sebut saja kita bisa tiba-tiba berubah menjadi terlalu banyak mau. Juga, ketika kita hanya menggunakan ‘akal pikiran’ saja, tentu hal tersebut bisa-bisa tidak sesuai dengan hati nurani. Ya, tidak sejalan dengan apa yang benar-benar kita inginkan. Begitulah sederhananya. Kombinasikan pikiran dan nafsu dengan tepat. Sederhana.

Setiap manusia sepatutnya punya impiannya masing-masing. Ya, kalopun bukan disebut impian, sebut saja keinginan. Impian dan keinginan bisa dan pasti berbeda-beda. Skala berbeda, dalam hal yang berbeda, juga dengan tingkat realisasi yang berbeda pula. Ada keinginan jangka pendek, ada impian jangka panjang.

Manusia seperti kita, diberikan hasrat, pikiran, dan kemampuan untuk memikirkan impian apa yang kita inginkan, sebesar apa keinginan kita untuk meraih impian tersebut, dan bagaimana cara terbaik ‘versi kita’ untuk mencapai hal-hal itu.

Hmm..

Saat kita dihadapkan dengan pilihan, atau mungkin ‘daftar atau list’ hal-hal apa saja yang kita inginkan, kita akan menggunakan pikiran untuk ‘memilih’ hal mana saja yang akan kita capai. Pikiran ini bisa dikuasai oleh akal, atau oleh nafsu. Dan pikiran terbaik setidaknya mengombinasikan antara keduanya dalam proporsi yang tepat, ya, akal dan nafsu. Mengapa demikian?

Ketika kita menetapkan suatu impian ‘hanya’ berdasarkan nafsu, sudah tentu semuanya akan menjadi sangat sulit ketika akan direalisasikan. Ya, sebut saja kita bisa tiba-tiba berubah menjadi terlalu banyak mau. Juga, ketika kita hanya menggunakan ‘akal pikiran’ saja, tentu hal tersebut bisa-bisa tidak sesuai dengan hati nurani. Ya, tidak sejalan dengan apa yang benar-benar kita inginkan. Begitulah sederhananya. Kombinasikan pikiran dan nafsu dengan tepat. Sederhana.

Setelah kita tetapkan daftar impian dan keinginan tersebut, tiba saatnya kita mulai untuk mengukir perjalanan hidup untuk mencapai hal tersebut. Sebut saja, usaha.

Ya, usaha ini akan bergantung kepada semua hal yang telah saya paparkan sebelumnya. Seberapa matang keinginan itu, seberapa besar hal itu dapat kita wujudkan, seberapa mungkin hal itu dapat menjadi kenyataan, dan seberapa kuat kita berusaha untuk meraihnya akan ‘otomatis’ menjadi satu kesatuan.

Berusaha, berusaha, dan Tuhan yang akan menentukan.

Hasilnya?

Bisa gagal. Bisa berhasil.

Jika berhasil, sungguh akan menyenangkan. Saya akan bahas nanti.

Namun, jika gagal, kemantapan hati menerima keputusan-Nya adalah hal yang utama. Ketika kita dihadapkan pada satu kenyataan di mana tidak sejalan dengan apa yang kita harapkan, keikhlasan dan kekuatan hati untuk percaya bahwa akan adanya jalan lain yang semoga lebih indah menanti kita. Itu yang terpenting. Bagaimana kita dapat menjadi pengendali bagi diri sendiri. Ketika kita berada dalam posisi jatuh, kita dapat bangun tanpa harus merepotkan orang lain terlalu banyak. Ya, begitu setidaknya.

Apabila berhasil? Saya yakin semua kita sudah punya jawabannya sendiri. Alhamdulillah.

Hidup hanya sekali. Ya, setidaknya hidup di dunia ini hanya sekali. Semoga harapan dan impian kita selama hidup ini menjadi ‘teman’ bagi kita hingga dapat menuntun kita kepada kebahagiaan yang kekal di akhirat.

Selamat berharap, kawan
Read more ...

Apakah dengan uang saya akan bahagia?

Jujur saja, sampai saat ini saya tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Yang saya tahu hanya, dengan uang kita hampir bisa mendapatkan segalanya. Uang mungkin bukan segalanya, tapi tentu saja segalanya butuh uang. Namun lagi-lagi pernyataan tersebut tidak menjawab pertanyaan “Apakah uang akan membuat bahagia?”. Anda juga pasti memiliki jawaban masing-masing untuk pertanyaan tersebut.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan antara kesejahteraan dengan berkurangnya kemampuan menikmati kesenangan atau kebahagiaan. Adapun kesenangan atau kebahagiaan yang dimaksud adalah perasaan sukacita, kegembiraan, kagum, bangga, terimakasih, dsb.

Hasil penelitian tersebut diperoleh setelah melakukan dua tes. Pada tes pertama, partisipan dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok pertama diperlihatkan gambar setumpuk uang, dan kelompok kedua diperlihatkan gambar yang sama yang jauh lebih buram sehingga sulit terlihat. Kemudian dua kelompok tersebut diberikan tes untuk mengukur kemampuan menikmati kebahagiaan. Hasilnya adalah kelompok yang diberikan gambar uang memiliki skor yang lebih rendah dalam kemampuannya menikmati kebahagiaan.

Untuk tes kedua, beberapa partisipan diberikan gambar setumpuk uang dan beberapa partisipan lainnya diberikan gambar yang buram, lalu kedua kelompok tersebut diberikan sepotong coklat. Observer kemudian mengukur waktu setiap partisipan untuk menikmati coklat tersebut. Hasilnya adalah rata-rata partisipan yang diberikan gambar uang menikmati coklat tersebut selama 32 detik, sedangkan partisipan yang diberikan gambar buram menikmati coklat selama 45 detik. Oleh karena itu dijelaskan bahwa kesejahteraan bisa mengurangi kemampuan individu untuk menikmati kesenangan.

Saat pertama kali membaca artikel diatas saya sempat berpikir bahwa ada banyak hal yang mempengaruhi hasil dari penelitian. Oleh karena itu, ketidakmampuan individu menikmati kesenangan juga mungkin dipengaruhi berbagai faktor. Mungkin anda berpikir hal yang sama, bahwa mungkin saja partisipan diatas sedang tidak bahagia, sudah memiliki banyak uang, atau bahkan memang tidak menyukai coklat. Berkaitan dengan faktor tersebut, seorang peneliti lain memberi pendapatnya. Secara garis besar, berikut adalah pendapatnya:

Jujur saja, sampai saat ini saya tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Yang saya tahu hanya, dengan uang kita hampir bisa mendapatkan segalanya. Uang mungkin bukan segalanya, tapi tentu saja segalanya butuh uang. Namun lagi-lagi pernyataan tersebut tidak menjawab pertanyaan “Apakah uang akan membuat bahagia?”. Anda juga pasti memiliki jawaban masing-masing untuk pertanyaan tersebut.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan antara kesejahteraan dengan berkurangnya kemampuan menikmati kesenangan atau kebahagiaan. Adapun kesenangan atau kebahagiaan yang dimaksud adalah perasaan sukacita, kegembiraan, kagum, bangga, terimakasih, dsb.

Hasil penelitian tersebut diperoleh setelah melakukan dua tes. Pada tes pertama, partisipan dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok pertama diperlihatkan gambar setumpuk uang, dan kelompok kedua diperlihatkan gambar yang sama yang jauh lebih buram sehingga sulit terlihat. Kemudian dua kelompok tersebut diberikan tes untuk mengukur kemampuan menikmati kebahagiaan. Hasilnya adalah kelompok yang diberikan gambar uang memiliki skor yang lebih rendah dalam kemampuannya menikmati kebahagiaan.

Untuk tes kedua, beberapa partisipan diberikan gambar setumpuk uang dan beberapa partisipan lainnya diberikan gambar yang buram, lalu kedua kelompok tersebut diberikan sepotong coklat. Observer kemudian mengukur waktu setiap partisipan untuk menikmati coklat tersebut. Hasilnya adalah rata-rata partisipan yang diberikan gambar uang menikmati coklat tersebut selama 32 detik, sedangkan partisipan yang diberikan gambar buram menikmati coklat selama 45 detik. Oleh karena itu dijelaskan bahwa kesejahteraan bisa mengurangi kemampuan individu untuk menikmati kesenangan.

Saat pertama kali membaca artikel diatas saya sempat berpikir bahwa ada banyak hal yang mempengaruhi hasil dari penelitian. Oleh karena itu, ketidakmampuan individu menikmati kesenangan juga mungkin dipengaruhi berbagai faktor. Mungkin anda berpikir hal yang sama, bahwa mungkin saja partisipan diatas sedang tidak bahagia, sudah memiliki banyak uang, atau bahkan memang tidak menyukai coklat. Berkaitan dengan faktor tersebut, seorang peneliti lain memberi pendapatnya. Secara garis besar, berikut adalah pendapatnya:

Nilai dari uang dipengaruhi oleh uang yang kita gunakan. Sebuah survey yang dilakukan di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 87 % partisipan hidup dalam dunia matrealistis. Dalam dunia matrealisme individu membeli barang tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk membuat dirinya terlihat lebih baik dimata orang lain. Hal tersebut (membeli barang untuk dilihat orang lain) ternyata juga mempengaruhi kebahagiaan, individu yang melakukan hal tesebut hanya mendapat kesenangan sesaat saja, tidak lama kemudian mereka mencari barang lain untuk dilihat orang lain.

Menggunakan uang untuk dinilai orang lain menunjukkan kegagalan untuk merasa senang dalam jangka waktu yang lama. Penelitian menunjukkan bahwa dibanding membeli barang, individu bisa merasakan kesenangan dalam jangka waktu lama dengan ‘membeli pengalaman’. Dengan memiliki pengalaman tertentu, apalagi jika pengalaman tersebut mengikut sertakan orang lain, dapat meningkatkan kesenangan, kebahagiaan lebih lama pada seorang individu. Pengalaman tersebut tentu beraneka ragam macamnya, mulai dari makan malam romantis sampai berlibur kesebuah tempat.

Berbagi. Menggunakan uang untuk berbagi dengan sesama juga dapat memberikan efek kesenangan, kebahagiaan untuk jangka waktu yang lama.

Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut. Penelitian yang melibatkan 5000 partisipan juga menunjukkan bahwa individu akan lebih bahagia jika menggunakan uangnya untuk beberapa hal kecil dibanding satu hal besar. Sebagai contoh, individu yang memiliki uang IDR 10.000.000 lebih bahagia jika pergi ke 10 konser berbeda yang harganya masing-masing IDR 1.000.000 dibanding pergi ke satu konser seharga IDR 10.000.000.

Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan uang pada aspek khusus dalam hidup dapat mempengaruhi kebahagiaan secara keseluruhan. Individu yang menggunakan uangnya untuk aspek sosial (berkumpul dengan teman-teman) akan mengalami peningkatan kepuasan dalam aspek sosialnya. Sedangkan individu yang menggunakan uangnya untuk meningkatkan aspek kesehatan (bergabung di sebuah gym atau klub) akan meningkatkan kepuasan aspek kesehatan. Peningkatan dalam beberapa aspek hidup pada akhirnya akan meningkatkan kebahagiaan secara utuh seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Tiap individu tentunya memiliki preferensi pribadi dalam menggunakan uang yang dimiliki. Berbagai pendapat yang telah dikemukanan diatas semoga dapat memberikan gambaran, atau masukan, bagaimana uang bisa mempengaruhi kesenangan dan kebahagiaan setiap individu. Meskipun demikian,ingatlah untuk menggunakan uang tidak melebihi kemampuan karena hal tersebut tentu saja akan menimbulkan stress.

Nova ‘JoNo’ Ariyanto

Sumber:

Fields, R.D. 2010. Money buys unhappiness, proven in a new study. Diambil secara online dari http://www.psychologytoday.com/blog/the-new-brain/201005/money-buys-unhappiness-proven-in-new-study pada 30 Mei 2010.
Read more ...

Sunday, December 5, 2010

Makna Hidup: Cahaya di atas Ketakutan

“Pertanyaan itu bukan untuk manusia. Pertanyaan itu hanya untuk Tuhan. Aku tidak mau takut. Aku tidak mau melakukan sesuatu karena takut. Aku tidak mau menjadi manusia yang bergerak karena takut, berlari, melangkah, melompat dan bernapas. Aku ingin menjadi seorang manusia yang bebas. Manusia yang digerakkan oleh tujuan (xxx, 2009).”

Dalam Barlow & Durand (2008) disebutkan bahwa rasa takut adalah emosi yang dapat memberikan motivasi yang kuat bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Dan tahukah kamu bahwa banyak benda – benda tercanggih sepanjang peradaban manusia diciptakan pada masa perang? Secara sadar atau tidak sadar seringkali manusia melakukan sesuatu atas dasar ketakutannya terhadap hal lain; takut tidak lulus ujian, takut kehilangan orang yang dicintai, takut dipandang sebelah mata, takut tidak bisa menghasilkan uang, dan ketakutan – ketakutan lainnya.
Semua adalah rasa takut yang wajar untuk dialami, dan adalah sesuatu yang wajar juga apabila seseorang melakukan sesuatu atas dasar rasa takut yang ia miliki. Akan tetapi sadarkah kita bahwa ketika kita melakukan sesuatu atas dasar rasa takut, pilihan kita akan terbatas pada dua jenis respon yang kedua-duanya berakar pada keinginan untuk menyelamatkan diri sendiri?. Dalam hal ini pilihan tersebut adalah lari untuk menyelamatkan diri sendiri atau melawan yang memiliki kecenderungan untuk mendegradasikan apapun yang berhubungan dengan sumber ketakutan kita.

Dalam pengalaman sehari – hari ini bisa diwujudkan diantaranya dengan berbohong (menghindar dari apa yang kita takutkan), self denial/penyangkalan diri (menghindar apabila kenyataan yang berkaitan dengan diri kita merupakan sesuatu yang kita takuti) atau bersikap tidak baik terhadap siapapun yang bisa berhubungan dengan rasa takut kita (misalnya: bersikap tidak baik pada sahabat kita yang kita anggap sebagai saingan kita dalam suatu hal). Segala respon yang dihasilkan atas dasar rasa takut sangatlah jarang yang dapat berujung pada suatu yang bersifat konstruktif. Ditambah lagi, perasaan takut (misalnya: hehilangan orang yang kita sayang, atau terlihat buruk di mata orang lain) seringkali membuat kita merasakan emosi negatif dan membuat kita sulit untuk melihat hal-hal positif yang terjadi ataupun yang sudah kita capai atau kita miliki.“Pertanyaan itu bukan untuk manusia. Pertanyaan itu hanya untuk Tuhan. Aku tidak mau takut. Aku tidak mau melakukan sesuatu karena takut. Aku tidak mau menjadi manusia yang bergerak karena takut, berlari, melangkah, melompat dan bernapas. Aku ingin menjadi seorang manusia yang bebas. Manusia yang digerakkan oleh tujuan (xxx, 2009).”

“Pertanyaan itu bukan untuk manusia. Pertanyaan itu hanya untuk Tuhan. Aku tidak mau takut. Aku tidak mau melakukan sesuatu karena takut. Aku tidak mau menjadi manusia yang bergerak karena takut, berlari, melangkah, melompat dan bernapas. Aku ingin menjadi seorang manusia yang bebas. Manusia yang digerakkan oleh tujuan (xxx, 2009).”

Dalam Barlow & Durand (2008) disebutkan bahwa rasa takut adalah emosi yang dapat memberikan motivasi yang kuat bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Dan tahukah kamu bahwa banyak benda – benda tercanggih sepanjang peradaban manusia diciptakan pada masa perang? Secara sadar atau tidak sadar seringkali manusia melakukan sesuatu atas dasar ketakutannya terhadap hal lain; takut tidak lulus ujian, takut kehilangan orang yang dicintai, takut dipandang sebelah mata, takut tidak bisa menghasilkan uang, dan ketakutan – ketakutan lainnya.
Semua adalah rasa takut yang wajar untuk dialami, dan adalah sesuatu yang wajar juga apabila seseorang melakukan sesuatu atas dasar rasa takut yang ia miliki. Akan tetapi sadarkah kita bahwa ketika kita melakukan sesuatu atas dasar rasa takut, pilihan kita akan terbatas pada dua jenis respon yang kedua-duanya berakar pada keinginan untuk menyelamatkan diri sendiri?. Dalam hal ini pilihan tersebut adalah lari untuk menyelamatkan diri sendiri atau melawan yang memiliki kecenderungan untuk mendegradasikan apapun yang berhubungan dengan sumber ketakutan kita.

Dalam pengalaman sehari – hari ini bisa diwujudkan diantaranya dengan berbohong (menghindar dari apa yang kita takutkan), self denial/penyangkalan diri (menghindar apabila kenyataan yang berkaitan dengan diri kita merupakan sesuatu yang kita takuti) atau bersikap tidak baik terhadap siapapun yang bisa berhubungan dengan rasa takut kita (misalnya: bersikap tidak baik pada sahabat kita yang kita anggap sebagai saingan kita dalam suatu hal). Segala respon yang dihasilkan atas dasar rasa takut sangatlah jarang yang dapat berujung pada suatu yang bersifat konstruktif. Ditambah lagi, perasaan takut (misalnya: hehilangan orang yang kita sayang, atau terlihat buruk di mata orang lain) seringkali membuat kita merasakan emosi negatif dan membuat kita sulit untuk melihat hal-hal positif yang terjadi ataupun yang sudah kita capai atau kita miliki.“Pertanyaan itu bukan untuk manusia. Pertanyaan itu hanya untuk Tuhan. Aku tidak mau takut. Aku tidak mau melakukan sesuatu karena takut. Aku tidak mau menjadi manusia yang bergerak karena takut, berlari, melangkah, melompat dan bernapas. Aku ingin menjadi seorang manusia yang bebas. Manusia yang digerakkan oleh tujuan (xxx, 2009).”

Dalam Barlow & Durand (2008) disebutkan bahwa rasa takut adalah emosi yang dapat memberikan motivasi yang kuat bagi manusia untuk melakukan sesuatu. Dan tahukah kamu bahwa banyak benda – benda tercanggih sepanjang peradaban manusia diciptakan pada masa perang? Secara sadar atau tidak sadar seringkali manusia melakukan sesuatu atas dasar ketakutannya terhadap hal lain; takut tidak lulus ujian, takut kehilangan orang yang dicintai, takut dipandang sebelah mata, takut tidak bisa menghasilkan uang, dan ketakutan – ketakutan lainnya.
Semua adalah rasa takut yang wajar untuk dialami, dan adalah sesuatu yang wajar juga apabila seseorang melakukan sesuatu atas dasar rasa takut yang ia miliki. Akan tetapi sadarkah kita bahwa ketika kita melakukan sesuatu atas dasar rasa takut, pilihan kita akan terbatas pada dua jenis respon yang kedua-duanya berakar pada keinginan untuk menyelamatkan diri sendiri?. Dalam hal ini pilihan tersebut adalah lari untuk menyelamatkan diri sendiri atau melawan yang memiliki kecenderungan untuk mendegradasikan apapun yang berhubungan dengan sumber ketakutan kita.

Dalam pengalaman sehari – hari ini bisa diwujudkan diantaranya dengan berbohong (menghindar dari apa yang kita takutkan), self denial/penyangkalan diri (menghindar apabila kenyataan yang berkaitan dengan diri kita merupakan sesuatu yang kita takuti) atau bersikap tidak baik terhadap siapapun yang bisa berhubungan dengan rasa takut kita (misalnya: bersikap tidak baik pada sahabat kita yang kita anggap sebagai saingan kita dalam suatu hal). Segala respon yang dihasilkan atas dasar rasa takut sangatlah jarang yang dapat berujung pada suatu yang bersifat konstruktif. Ditambah lagi, perasaan takut (misalnya: hehilangan orang yang kita sayang, atau terlihat buruk di mata orang lain) seringkali membuat kita merasakan emosi negatif dan membuat kita sulit untuk melihat hal-hal positif yang terjadi ataupun yang sudah kita capai atau kita miliki.

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah kita punya pilihan? Apakah manusia adalah makhluk yang terbatas pada “rasa takut”?

Salah satu tokoh psikologi pada tahun 1943, Abraham Maslow telah memberikan dasar untuk menjawab pertanyaan tersebut. Maslow menyebutkan aktualisasi diri sebagai tingkatan teratas dari hierarki kebutuhan manusia. Hal ini secara tidak langsung menjawab bahwa manusia sebenarnya dapat berkembang lebih dari sekedar kebutuhannya (lebih dari pemenuhan kebutuhan fisiologis, lebih dari pemenuhan kebutuhan akan keamanan, lebih dari pemenuhan kebutuhan akan hubungan sosial dan lebih dari pemenuhan kebutuhan akan penghargaan akan dirinya sendiri). Saat ini teori tersebut banyak mendapat kontroversi, bahwa urutan dalam hierarki kebutuhan tersebut mungkin tidaklah sama bagi setiap orang, akan tetapi terlepas dari bagaimanapun urutan bagi setiap orang, keberadaan kebutuhan aktualisasi diri membuktikan bahwa manusia bisa lepas dari ketakutannya untuk memenuhi segala kebutuhan dasarnya untuk berkembang.

Pada perkembangan terbaru dari ilmu psikologi, yaitu Positive Psychology, disebutkan bahwa ilmu ini didasari oleh kepercayaan bahwa setiap manusia berkeinginan untuk menjalani kehidupan yang bermakna, untuk dapat mengembangkan apa yang terbaik dalam diri mereka (http://www.ppc.sas.upenn.edu). Bahwa manusia, ketika telah terlepas dari segala ketakutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sebenarnya akan dapat melakukan sesuatu berdasarkan apa yang dia anggap sebagai makna hidupnya; apa yang seharusnya ia lakukan dalam hidupnya. Seperti yang diungkapkan oleh Victor Frankl:

” Life ultimately means taking the responsibility to find the right answer to its problems and to fulfill the tasks which it constantly sets for each individual.”
(“Makna Hidup yang tertinggi adalah – bertanggung jawab dalam menemukan jawaban yang benar untuk setiap permasalahannya dan memenuhi tugas yang telah ditentukan untuk setiap individu”)

Dalam tulisan Michael F. Steger disebutkan bahwa; data yang dihasilkan oleh penelitian dalam empat dekade mengarah pada kesimpulan yang sama, bahwa “makna” adalah sesuatu yang penting dalam kehidupan manusia. Ketika seorang manusia memukan makna dalam kehidupannya, dia akan lebih mungkin untuk merasakan emosi-emosi yang menyenangkan seperti cinta dan kebahagiaan. Orang yang menemukan makna hidup juga lebih mungkin untuk merasakan kepuasan dalam hidupnya, dan juga lebih mudah untuk menerima kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya. Dan ketika seseorang menemukan makna dalam hidupnya, ia akan dapat menemukan tujuan dari apa yang terjadi dan apa yang ia lakukan, hal ini membuat orang-orang tersebut lebih dapat melihat masa depan yang cerah di hadapannya (http://www.psychologytoday.com/blog/the-meaning-in-life/200903/mean-or-not-mean)

Ketika semua hal sudah dipaparkan, kita semua tahu bahwa kita memiliki pilihan. Apakah kita bersedia untuk digerakkan oleh hanya sekedar rasa takut, atau kita memilih untuk menjalani sebuah hidup yang bermakna, yang digerakkan oleh tujuan dalam setiap langkah yang kita ambil? Pada kenyataannya menjalankan pilihan yang diambil tidak akan semudah membalikkan telapak tangan, akan tetapi pilihan untuk hidup bebas dari rasa takut tentunya membawa harapan bahwa manusia bisa berkembang lebih dari sekedar batasan respon melarikan diri atau melawan.

Reference:
Barlow, David H. & V. Mark Durand. (2008). Abnormal Psychology : an Integrative Approach 5th Edition. Australia: Wadsworth Publishing Company.
sumber:"ruangpsikologi.com
Read more ...